Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label BANDUNG DEATH METAL PADIGA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BANDUNG DEATH METAL PADIGA. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Februari 2011

BANDUNG DEATH METAL

Menurut saya 2009 adalah tahun kebangkitan kembali salah satu genre musik metal,sebut saja Death Metal salah satu sub genre metal terbising. Menurut runutan sejarahnya musik death metal itu dipopulerkan oleh sebut saja band seperti Possessed,Cannibal Corpse,Death,Obituary,Napalm Death,Immolation,Deicide dan Exhumed merupakan band pelaku sejarah dari genre ini, atau band death metal gelomabnag pertama.Setelah era gelomabng pertama barulah banyak sekali band-band aliran serupa tumbuh dan banyak mempengaruhi band underground ke seluruh penjuru benua hingga asia sampai sekarang.Kita sedikit Flashback
Ingat GOR Saparua? siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.Dan tidak bisa dipungkiri bahwa band death metal selalu menghiasi pamplet acara-acara yang di langsungkan disana.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang dianggap menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, BurgerKill dan sebagainya.Dibandung barat Muncul juga komunitas death metal Cihampelas yang melahirkan band pionir death metal MORTIR,Schizoprenia,Thanatoid,Noise Damage dan sebagainya.
Seiring dengan Waktu perkembang biakan death metal di Bandung semakin meluas dan menjadi trendsetter.Membuat band death metal dan sejenisnya bak jamur di musim hujan.Namun waktu juga yang ikut menenggelamkan genre ini,setelah sekian lama mati kini death metal muncul kembali dengan regenerasinya.
Pasca kejadian tewasnya 11 pemuda di sebuah acara ( Baca liputan “Beside Party Killer ” red.) membuat pihak kepolisian memberangus semua kreatifitas komunitas underground. yang berdampak tidak dikeluarkannya izin untuk show band-band cadas ” keur mah minoritas urang-urang teh,katambahan teu di izinan beuki we riweuh..”komentar salah satu dedengkot indie Bandung.Namun ini tidak menyurutkan para pelaku death metal untuk tidak membuat show.
Sebut saja Bandung Death Fest 3 diadakan di kompleks ABRI yang notabene pihak kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa,dan tercatat sekitar 2000an penonton datang memadati acara ini alhasil …..tiketnya SOLD OUT !!! pada acara itu nampak bermunculan band-band death metal baru yang ikut membawa warna baru di pergerakan underground khususnya death metal.Dan sebagai catatan diacara ini tidak ada band yang bukan death metal…DEATH METAL RULES !!!!
Dan pada tahun ini banyak sekali band death metal yang keren dan cadas lahir, juga banyaknya band yang merilis albumnya di tahun ini.Salah satu label indie yang banyak menaungi band-band death metal adalah Extreme Soul Production ( ESP.red) merilis kembali kompilasi tercadas,terbrutal,terbising tahun ini yaitu Brutally Sickness “Orgasm Mutilation” mencatat ada sekitar 26 band yang ikut meramaikan panasnya kompilasi ini.dari sekian banyak band yang menghikuti kompilasi ini saya melihat banyak sekali band yang di gawangi oleh anak kuliahan,SMA bahkan SMP yang sudah mampu memainkan musik death metal ini dengan ciamik.Bukan itu saja banyak juga band death metal luar negeri sana yang mulai mau merambah Asia dan melakukan konsernya hanya di Indonesia.
Sekarang kehadiran death metal scene di bandung sudah tidak bisa lagi di pandang sebelah mata,baik dari segi eksistensi,loyalitas dan kualitas bermusiknya mampu membuat orang berdecak kagum.VIVA LA DEATH METAL…Panceg Dina Galur Najan Awak Lebur !!!

PADIGA


”…Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…” (Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung dan persaudaraan. Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur).
Petikan naskah kuno Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja Sunda Kuno yang hidup pada 1175-1297 Masehi) itu disadur menjadi lirik lagu berjudul ”Kujang Rompang” oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal asal Bandung.
Lagu ini ikut memeriahkan Deathfest IV, festival akbar death metal yang diadakan di Lapangan Yon Zipur, Ujungberung, Bandung, Sabtu (17/10). Ribuan anak muda, mulai dari pelajar SMP hingga mahasiswa, larut dalam hiruk-pikuk event musik metal yang disebut-sebut terbesar di Asia ini.
Meski pertunjukan musik baru mulai selepas maghrib, pada siang hari yang sangat terik itu mereka sudah nongkrong menunggu band-band idola mereka manggung. Sambil mengenakan kaus hitam bermotif seram dan atribut metal lainnya, mereka antusias menunggu.
Filosofi panceg dina galur bukanlah sekadar inspirasi dalam berkarya musik bagi Jasad, melainkan juga menjadi pandangan hidup seluruh anggota dan penggemar musik metal di Bandung, khususnya yang bernaung di daerah Ujungberung.
”Mau seperti apa pun kita, macam mana bungkusnya, yang penting grass root (akar bawah) harus kuat. Harus sadar dan jangan lupakan budaya kita,” ujar Mohammad Rohman, vokalis Jasad.
Bagi masyarakat awam, bahkan dibandingkan komunitas band metal lainnya di Indonesia maupun dunia, keberadaan subkultur band death metal asal Ujungberung ini merupakan sebuah paradoks. Musik metal, tetapi lirik dan pesan nyunda adalah perpaduan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Ketika di banyak tempat sub-subkultur atas nama aliran musik berhaluan Barat macam punk, grunge, maupun grindcore gencar melakukan perlawanan budaya lokal, entitas penggemar musik metal Ujungberung yang berada di wadah Ujungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat itu justru melakukan hal sebaliknya.
Sebagai contoh, konser Death Festival IV yang diikuti 12 band death metal itu mengangkat tema kampanye penggunaan aksara kuno. Di festival yang menjadi salah satu pembuka penyelenggaraan Helar Festival 2009 (festival industri kreatif di Bandung) itu, panitia membagi-bagikan leaflet mengenai cara menulis aksara sunda kuno kagana kepada penonton yang rata-rata masih berusia ABG.
”Di sekolah-sekolah, saya lihat, ini (kagana) tidaklah diajarkan. Daripada kelamaan menunggu pemerintah bertindak, kami duluan saja yang mulai bergerak,” ujar Rohman yang biasa disapa Man ”Jasad” ini di sela-sela konser.
Di luar panggung, Man dan kawan-kawannya kerap memakai iket kepala sebagai penanda identitas kultur Sunda. Meski, sehari-harinya mereka tidak lepas dari jaket kulit hitam maupun aksesori anting-anting dan tato.
Upaya mengenalkan tradisi Sunda tidak terhenti di sana saja. Di dalam berbagai kesempatan, anak-anak Bandung Death Metal Sindikat kerap menyisipkan pertunjukan karinding, celempung, dan debus.
”Kesenian karinding yang selama 400 tahun tenggelam coba kami hidupkan kembali,” tutur Dadang Hermawan, anggota Bandung Death Metal Syndicate. ”Di tiap Minggu dan Jumat melakukan tumpek kaliwon di Sumur Bandung dan Tangkuban Parahu untuk membicarakan kesenian Sunda,” tutur Man Jasad kemudian.

”…Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…” (Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung dan persaudaraan. Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur).
Petikan naskah kuno Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja Sunda Kuno yang hidup pada 1175-1297 Masehi) itu disadur menjadi lirik lagu berjudul ”Kujang Rompang” oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal asal Bandung.
Lagu ini ikut memeriahkan Deathfest IV, festival akbar death metal yang diadakan di Lapangan Yon Zipur, Ujungberung, Bandung, Sabtu (17/10). Ribuan anak muda, mulai dari pelajar SMP hingga mahasiswa, larut dalam hiruk-pikuk event musik metal yang disebut-sebut terbesar di Asia ini.
Meski pertunjukan musik baru mulai selepas maghrib, pada siang hari yang sangat terik itu mereka sudah nongkrong menunggu band-band idola mereka manggung. Sambil mengenakan kaus hitam bermotif seram dan atribut metal lainnya, mereka antusias menunggu.
Filosofi panceg dina galur bukanlah sekadar inspirasi dalam berkarya musik bagi Jasad, melainkan juga menjadi pandangan hidup seluruh anggota dan penggemar musik metal di Bandung, khususnya yang bernaung di daerah Ujungberung.
”Mau seperti apa pun kita, macam mana bungkusnya, yang penting grass root (akar bawah) harus kuat. Harus sadar dan jangan lupakan budaya kita,” ujar Mohammad Rohman, vokalis Jasad.
Bagi masyarakat awam, bahkan dibandingkan komunitas band metal lainnya di Indonesia maupun dunia, keberadaan subkultur band death metal asal Ujungberung ini merupakan sebuah paradoks. Musik metal, tetapi lirik dan pesan nyunda adalah perpaduan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Ketika di banyak tempat sub-subkultur atas nama aliran musik berhaluan Barat macam punk, grunge, maupun grindcore gencar melakukan perlawanan budaya lokal, entitas penggemar musik metal Ujungberung yang berada di wadah Ujungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat itu justru melakukan hal sebaliknya.
Sebagai contoh, konser Death Festival IV yang diikuti 12 band death metal itu mengangkat tema kampanye penggunaan aksara kuno. Di festival yang menjadi salah satu pembuka penyelenggaraan Helar Festival 2009 (festival industri kreatif di Bandung) itu, panitia membagi-bagikan leaflet mengenai cara menulis aksara sunda kuno kagana kepada penonton yang rata-rata masih berusia ABG.
”Di sekolah-sekolah, saya lihat, ini (kagana) tidaklah diajarkan. Daripada kelamaan menunggu pemerintah bertindak, kami duluan saja yang mulai bergerak,” ujar Rohman yang biasa disapa Man ”Jasad” ini di sela-sela konser.
Di luar panggung, Man dan kawan-kawannya kerap memakai iket kepala sebagai penanda identitas kultur Sunda. Meski, sehari-harinya mereka tidak lepas dari jaket kulit hitam maupun aksesori anting-anting dan tato.
Upaya mengenalkan tradisi Sunda tidak terhenti di sana saja. Di dalam berbagai kesempatan, anak-anak Bandung Death Metal Sindikat kerap menyisipkan pertunjukan karinding, celempung, dan debus.
”Kesenian karinding yang selama 400 tahun tenggelam coba kami hidupkan kembali,” tutur Dadang Hermawan, anggota Bandung Death Metal Syndicate. ”Di tiap Minggu dan Jumat melakukan tumpek kaliwon di Sumur Bandung dan Tangkuban Parahu untuk membicarakan kesenian Sunda,” tutur Man Jasad kemudian.